Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Publik (LP3) Talenta

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Publik (LP3) Talenta
Akta Notaris Setya Budhi, SH Nomor 45 Tanggal 17 April 2008 Head Office: Jl. Raya Tanjungtani 69 Prambon Nganjuk Phone. (0358) 791420 Mobile : 081259347185 - 085645724031 e-mail: idamm@yahoo.com website: www.lp3talenta.blogspot.com

04 Juni 2009

Sekali Lagi Global Warming


Oleh Idam Mustofa

Musim kemarau yang segera datang mengingatkan kita kepada urgensi mengantisipasi perubahan iklim. Panas kemarau ini tidak seberapa dibandingkan dengan global warming. Kita perlu menengok pernyataan pemerintah Inggris di penghujung akhir tahun 2007, sesaat sebelum pertemuan para kepala negara di Bali membahas global warming. Melalui Menlu Margaret Becket menampakkan sikap santun dalam menyikapi krisis iklim global. Margaret Becket menyatakan, mereka-kita-harus memimpin. Kami di Inggris sangat khawatir dengan apa yang menjadi arti perubahan iklim bagi kita semua sehingga kami telah membuat keamanan iklim sebagai satu dari prioritas strategis internasional kami. Bersama-sama dengan masalah Afrika, hal tersebut adalah salah satu dari dua tema kunci dalam kepemimpinan kami di G8.
Tekad Inggris di atas wujud empati dari fenomena peningkatan suhu udara global yang mengakibatkan menurunnya kemampuan memenuhi kebutuhan mendasar seperti makanan, air dan kesehatan. Empati Inggris memang kelihatan secara implisit ditujukan untuk negara-negara di Afrika dan Asia barat yang sangat berpotensi kekurangan air akibat krisis iklim global. Di balik itu, ketika membaca opini ini, saya langsung teringat kepada bumi pertiwi. Walaupun tidak secara langsung Margaret Becket menyebut Indonesia menjadi bagian kekhawatirannya, tapi sebenarnya kita juga mesti berempati. Jelas, kata "kita" dan "mereka" termasuk kita, Indonesia, mengingat keadaan kita persis yang disinggung oleh Menlu perempuan itu.
Empati Inggris anggap saja sebagai pesan ajakan kerjasama untuk kebaikan, bukan sebaliknya. Betapa tidak? Sekeras apapun kita mengutuk negara-negara industri sebagai penyebab utama gejala alam berupa pemanasan global, namun Indonesia ikut andil dalam konteks lain. Toh Margaret Becket mengakuinya di paruh terakhir tulisannya bahwa beberapa negara yang akan terkena dampak perubahan iklim terparah adalah negara-negara termisikin di dunia. Namun, negara-negara ekonomi yang berkembanglah yang telah bertanggungjawab atas mayoritas dari emisi gas rumah kaca.
Hari-hari ini mungkin sah-sah saja kita memiliki alibi, berbagai peristiwa alam mengguncang negeri zamrud katulistiwa. Masih terngiang di ingatan kita gempa bumi yang mengundang gelombang tsunami di Aceh ditambah gempa bumi memilukan di DIY. Dekat dari DIY, gunung Merapi yang selalu mengancam diikuti gunung Semeru yang akhir-kahir ini memperlihatkan geliatnya. Selain itu angin puting beliung yang melanda Yogyakarta mengakibatkan kesedihan mendalam. Jangan pula dilupakan, musim penghujan menyediakan porsi menjangkitnya wabah demam berdarah.
Kecelakaan pesawat udara, kapal laut, kereta api menambah catatan kepiluan negera kepulauan ini. Tidak hanya itu, banjir bandang yang melanda ibukota negara mencapai puncaknya. Yang juga fenomenal, luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur belum ada yang menjamin dapat dihentikan. Belum lagi ancaman kemarau panjang mungkin saja terjadi. Di tengah ini semua, flu burung semakin merajalela membuahkan ancaman pula. Jangan lupa pula, dalam konteks Mataraman musibah tanah longsor di Bodag Madiun, Ngebel Ponorogo dan Pacitan menyisakan kesedihan berlebih. Di saat keadaan negara yang masih belum bisa keluar dari krisis ekonomi kita terpaksa menerima kenyataan itu.
Catatan di atas tidak begitu saja diartikan sebagai peristiwa alam karena kehendak Tuhan, tapi bukankah sebenarnya kita juga penyebabnya. Dikaitkan dengan "nasehat" Margaret Becket terkait dengan krisis air akibat perubahan iklim global, yang sangat perlu kita catat kali ini adalah hutan. Hutan-hutan kita terpaksa merana oleh ulah sebagian teman kita yang membabatnya tanpa ampun.
Merujuk pendapat Muhammad Makmum (2007), kerusakan hutan akan menimbulkan punahnya flora dan fauna yang merupakan kekayaan sumber hayati di Indonesia. Selain itu, musim kemarau dan penghujan tidak menentu, udara menjadi panas dan lain-lain. Akibat fatal lainnya, terjadi kekeringan pada musim kemarau dan bencana banjir pada musim penghujan. Yang lebih mengancam lagi adalah timbulnya lahan kritis di mana tanah menjadi tidak subur, sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.
Pencemaran udara akibat efek rumah kaca yang diakui oleh Margaret Becket tanpa terasa juga dipicu oleh kita. Pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra menimbulkan asap sehingga memproduksi gas karbondioksida yang disebut dengan gas rumah kaca. Akibat efek rumah kaca bagi kehidupan di muka bumi antara lain terjadi peningkatan suhu udara dan perubahan iklim dunia. Apabila suhu bumi semakin panas maka akan menyebabkan suhu udara semakin panas pula sehingga menyebabkan kerusakan tanaman yang berujung pada menurunnya produksi pertanian. Di sisi lain, es di kutub utara dan selatan akan mencair sehingga permukaan laut akan naik yang mengakibatkan daerah pantai dan pulau-pulau kecil akan tenggelam.
Dari dua akibat efek rumah kaca di atas, yang mengancam ketersediaan makanan –sebagaimana diingatkan Margaret Becket, akibat pertamalah yang mengancam Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bumi tercinta ini adalah bumi agraris yang cocok sekali untuk bercocok tanam. Di samping minyak bumi yang semakin hari semakin terkekikis dan harapan menjadi negara industri masih jauh dari kenyataan, kita sangat mengandalkan pertanian.
Apa yang terjadi jika pertanian terancam? Jangan-jangan trend impor beras mengindikasikan menurunnya produksi pertanian kita. Padahal beras adalah makanan pokok kita. Janganlah terlarut dengan kekhawatiran seperti ini. Tidak ada salahnya empati Inggris dengan mengajak semua penduduk dunia untuk mengurangi emisi karbon mendapat simpati.
Yang tidak kalah penting lagi, dunia industri di Indonesia berkali-kali membuahkan inkosistensi dalam pengelolaan limbah. Limbah industri begitu mudah mencemarkan air sungai kita. Tercampurnya air dengan zat-zat kimia yang terkandung dalam limbah pabrik menyebabkan terbatasnya air yang tersedia dan tentu saja tidak memenuhi syarat untuk digunakan. Lagi-lagi kehidupan terancam
Di awal tulisannya Margaret Becket sudah mengungkapkan, ke belahan dunia manapun ia pergi, pasti menemukan fakta bahwa mayoritas masyarakat biasa menginginkan hal-hal yang sama dari kehidupan; dapat hidup dengan selamat, dapat mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan dapat membangun sebuah masa depan yang lebih baik untuk anak-anak dan keluarga mereka.
Jangan tersinggung dulu dengan istilah "masyarakat biasa", kemudian mengartikannya sebagai masyarakat rendah, miskin dan sebagainya. Saya kira Margaret Becket juga orang biasa yang menjadi makhluk Tuhan dan sangat bergantung pada ketersediaan air dan udara untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Air dan udara menjadi kata kunci penyelamatan ancaman perubahan iklim jika kita tidak membiarkan keduanya ternoda oleh perubahan iklim. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi yang kita harapkan.

Idam Mustofa, M.Pd
Direktur Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Publik (LP3) Talenta Ponorogo

Tidak ada komentar: